Powered By google

Jumat, 02 Desember 2011

GOLONGAN AWAM TERGESA-GESA DALAM MENGELUARKAN FATWA

Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin




Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Ketika dilontarkan pertanyaan yang berkaitan dengan syari'at pada suatu majlis, umpamanya, orang-orang awam berlomba-lomba mengeluarkan fatwa dan mengemukakan pendapat dalam masalah tersebut yang biasanya tidak berdasarkan ilmu. Apa komentar Syaikh yang mulia mengenai fenomena ini? Dan apakah ini merupakan kebaikan terhadap Allah dan RasulNya?

Jawaban
Sebagaimana diketahui, bahwa seseorang tidak boleh berbicara tentang masalah agama Allah tanpa berdasarkan ilmu, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman,

"Artinya : Katakanlah, 'Rabbku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak maupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa saja yang tidak kamu ketahui." [Al-A'raf : 33]

Hendaknya seseorang bersikap hati-hati dan takut berkata atas nama Allah tanpa berdasarkan ilmu. Ini tidak termasuk perkara duniawi yang merupakan medan akal. Bahkan, sekalipun mengenai perkara duniawi yang merupakan medan akal, hendaknya seseorang berhati-hati (tidak terburu-buru) dan perlahan-lahan, karena bisa jadi jawaban dirinya akan menjadi jawaban yang lainnya, sehingga seolah-olah ia menetapkan dari dua jawaban dan ungkapannya menjadi ungkapan terakhir yang menentukan. Banyak orang yang berbicara dengan pendapat mereka, maksud saya, dalam perkara-perkara yang bukan syari'at. Jika ia perlahan-lahan dan mengakhirkan pengungkapannya, akan tampak yang benar baginya dari banyaknya pendapat yang ada yang sebelumnya tidak terbesit di dalam benaknya. Karena itu, saya sarankan kepada setiap orang, hendaklah perlahan-lahan untuk menjadi pembicara yang terakhir sehingga ia seolah-olah menjadi penentu di antara pendapat-pendapat tersebut. Sikap ini pun untuk mengetahui ragamnya pendapat yang belum diketa-huinya sebelum ia mendengarnya saat itu. Demikian ini untuk perkara-perkara duniawi. Adapun untuk perkara-perkara agama, seseorang sama sekali tidak boleh berpendapat kecuali dengan ilmu yang diketahuinya dari Kitabullah dan Sunnah RasulNya atau pendapat-pendapat para ahlul ilmi.

[Alfazh wa Mafahim fi Mizanisy Syari'ah, hal. 44-46, Syaikh Ibnu Utsaimin]

PENGARUH ZAMAN TERHADAP FATWA

Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Ada fenomena yang telah memasyarakat, yang mana sebagian orang memahami bahwa sebagian perkara yang dulu diharamkan, seperti radio, kini menjadi halal. Mereka mengatakan, bahwa berubahnya zaman atau tempat mempengaruhi fatwa. Kami mohon perkenan Syaikh yang mulia untuk menjelaskan kebenaran dalam hal ini. Dan bagaimana membantah orang yang mengatakan seperti itu? Semoga Allah memberi anda kebaikan.

Jawaban:
Sebenarnya, fatwa tidak berubah dengan berubahnya zaman, tempat atau pun individu, akan tetapi, hukum syari'at itu bila terkait dengan alasan, jika alasannya ada maka hukumnya berlaku, jika alasannya tidak ada maka hukumnya pun tidak berlaku. Adakalanya seorang pemberi fatwa melarang manusia terhadap sesuatu yang dihalalkan Allah karena sesuatu itu menyebabkan manusia melakukan yang haram, hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh Umar Radiyallahu anhu dalam masalah talak tiga, yaitu ketika ia melihat orang-orang menyepelekannya sehingga ia memberlaku-kannya. Sebelumnya, pada masa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, pada masa Abu Bakar Radiyallahu anhu dan pada dua tahun pertama masa kekhilafahan Umar, talak tiga dianggap satu, lalu karena Umar melihat orang-orang banyak menyepelekannya maka ia melarang mereka yang melakukan itu untuk rujuk kepada isteri-isterinya. Demikian juga tentang hukuman peminum khamr, sebelumnya, pada masa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan pada masa Abu Bakar, hukumannya tidak lebih dari 40 kali cambukan, tapi karena orang-orang masih banyak yang suka minum khamr, maka Umar bermusyawarah dengan para sahabat Radiyallahu anhu, yang hasilnya menetapkan hukumannya menjadi 80 kali cambukan.

Jadi, hukum-hukum syari'at itu tidak mungkin dipermainkan manusia, jika mau mereka mengharamkan dan jika mau mereka halalkan, tapi hukum-hukum syari'at itu harus berdasarkan pada alasan-alasan syar'iyyah yang bisa menetapkan atau meniadakan.

Adapun tentang radio, tidak ada seorang pun yang mengharamkannya dari kalangan ulama analistis. Sedangkan yang mengharamkannya hanyalah orang-orang yang tidak mengetahui hakikatnya. Adapun para ulama analistis terutama Syaikh kita, Abdurrahman bin Sa'di tidak memandangnya sebagai hal yang haram, bahkan mereka memandang bahwa radio itu termasuk hal-hal yang diajarkan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada manusia, terkadang bermanfaat dan terkadang pula merusak, tergantung isinya. Demikian juga pengeras suara (loudspeaker), pada awal kemunculannya diingkari oleh sebagian orang, tapi itu karena tanpa penelitian. Sedangkan para analis tidak mengingkarinya, bahkan mereka memandang bahwa pengeras suara itu termasuk ni'mat Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk memudahkan mereka dalam menyampaikan khutbah dan wejangan kepada yang jauh.

[Fatwa Syaikh Ibnu Utsaimin yang beliau tanda tangani]

KEDUDUKAN DAN KEUTAMAAN AHLUL ILMU

Pertanyaan:
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Bagaimana kedudukan dan keutamaan ahlul ilmi dalam Islam?

Jawaban
Kedudukan ahlul ilmi adalah kedudukan yang paling agung, karena para ahlul ilmi adalah pewaris para Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena itulah diwajibkan pada mereka untuk menjelaskan ilmu dan mengajak manusia ke jalan Allah, kewajiban ini tidak dibebankan kepada selain mereka. Di dunia ini mereka laksana bintang-bintang di langit, yang mana mereka membimbing manusia yang sesat dan bingung serta menjelaskan kebenaran kepada mereka dan memperingatkan mereka terhadap keburukan. Karena itu, di bumi ini, mereka bagaikan air hujan yang membasahi bumi yang kering kerontang, lalu tumbuhlah tumbuhan dengan izin Allah. Di samping itu, diwajibkan kepada para ahlul ilmi untuk beramal, berakhlak dan beretika yang tidak seperti yang diwajibkan pada selain mereka, karena mereka adalah suri teladan, sehingga mereka adalah manusia yang paling berhak dan paling berkewajiban untuk melaksanakan syari'at, baik dalam etika maupun akhlaknya.

[Dari fatwa Syaikh Ibnu Utsaimin yang beliau tanda tangani]

[Disalin dari kitab Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Disusun oleh Khalid Al-Juraisy,Penerjemah Amir Hamzah, Penerbit Darul Haq]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Al-Qur'an Wal Hadits Ala Fahmi Salaf

Manhaj salaf adalah satu-satunya manhaj yang diakui kebenarannya oleh Allah ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena manhaj ini mengajarkan pemahaman dan pengamalan islam secara lengkap dan menyeluruh, dengan tetap menitikberatkan kepada masalah tauhid dan pokok-pokok keimanan sesuai dengan perintah Allah ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, Allah berfirman:(lihat QS.At Taubah: 100)/(Qs. Al Baqarah: 137)Dalam hadits yang shahih tentang perpecahan umat ini menjadi 73 golongan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Semua golongan tersebut akan masuk neraka, kecuali satu golongan, yaitu Al Jama’ah“. Dalam riwayat lain: “Mereka (yang selamat) adalah orang-orang yang mengikuti petunjukku dan petunjuk para sahabatku.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Ad Darimy dan imam-imam lainnya, dishahihkan oleh Ibnu Taimiyyah, Asy Syathiby dan Syaikh Al Albany. Lihat “Silsilatul Ahaaditsish Shahihah” no. 204) Maka mengikuti manhaj salaf adalah satu-satunya cara untuk bisa meraih keselamatan di dunia dan akhirat, sebagaimana hanya dengan mengikuti manhaj inilah kita akan bisa meraih semua keutamaan dan kebaikan yang Allah ta’ala janjikan dalam agama-Nya, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Sebaik-baik umatku adalah generasi yang aku diutus di masa mereka (para sahabat radhiyallahu ‘anhum), kemudian generasi yang datang setelah mereka, kemudian generasi yang datang setelah mereka.” (HR. Al Bukhari dan Muslim)