Powered By google

Kamis, 06 Januari 2011

Menepis Syubhat (Kerancuan) Terhadap Salafiyah

Di tengah gelombang kebid’ahan dan kesyirikan yang menerpa umat sekarang ini. Di saat kebingungan dan ketimpangan semakin membelit kaum mudanya. Ahlul ahwa’ (para pengikut hawa-nafsu) tidak henti-hentinya melontarkan kerancuan dan keraguan. Bahkan tidak jarang melemparkan tuduhan serta fitnah yang tidak berdasar ke tengah-tengah umat terhadap kemulian dakwah Salafiyah yang penuh barakah ini dan para dainya. Semua itu ibarat riak-riak kecil, bila tidak segera ditepis akan menjadi gelombang ganas yang membahayakan lagi mengkhawatirkan.

Salah seorang murid senior Muhadits abad ini (Imam al-Albani rahimahullah), yaitu Syaikh Muhammad bin Musa Nashr telah mengumpulkan beberapa syubhat yang dilontarkan oleh musuh da’wah Salafiyah, kemudian beliau iringi dengan bantahannya. Pada kesempatan ini kami sampaikan sebagian dari bantahannya tersebut dan kami pilih yang sekiranya mendesak untuk diketahui.


SYUBHAT PERTAMA: Salafiyah adalah sebuah penasaban yang bid’ah!

Jawaban Syaikh Abu Anas Muhammad bin Musa Nashr:

Sebagian musuh dakwah Salafiyah menganggap bahwa menisbatkan diri kepada Salaf merupakan pengelompokan bid’ah. Hal itu sebagaimana mereka yang menamakan diri dengan: Ikhwanul Muslimin, Hizbut Thahrir, dan Jamaah Tabligh.

Mereka tidak tahu, bahwa Salafiyah adalah sebuah penasaban terhadap generasi terbaik. Yaitu generasi sahabat dan tabi’in, yang telah dipersaksikan oleh Rasulullâh Salallahu ‘Alaihi Wassalam dengan kebaikan. Juga merupakan penyandaran terhadap umat yang ma’sum (terjaga dari kesalahan), yang tidak akan bersepakat di dalam kesesatan, umat yang telah diridhai oleh Allah.

Allah Ta’ala berfirman:

“Allah ridha terhadap mereka dan merekapun ridha kepada-Nya”.
(al-Bayyinah: 8)

Sungguh jauh berbeda, antara orang yang menisbatkan diri kepada individu yang tidak ma’sum, bersikap loyal, dan fanatik terhadap seluruh perkataan dan pendapatnya, dengan orang yang menisbatkan diri kepada umat yang selamat dari penyimpangan dan kesesatan di saat munculnya banyak perselisihan.

Rasulullâh Salallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda:
“Umat ini akan terpecah menjadi 73 kelompok. Semuanya di dalam neraka kecuali satu.”
Sahabat bertanya: “Siapa dia wahai Rasulullâh?
Jawab Rasulullâh Salallahu ‘Alaihi Wassalam :
“Mereka adalah orang-orang yang semisal dengan apa yang aku dan sahabatku berada di atasnya”.
Itulah Salafiyah yang mengambil Islam secara murni, bersih dari segala bid’ah. Islam yang dibawa Rasulullâh Salallahu ‘Alaihi Wassalam , para sahabatnya dan umat terbaik sesudah mereka.
Bagaimana kalian membolehkan ’jamaah-jamaah’ Islam menisbatkan diri terhadap individu-individu yang tidak ma’sum, lalu pada waktu yang sama kalian melarang orang-orang menasabkan kepada umat yang ma’sum dari segala kesesatan. Menasabkan diri kepada Salafush Shalih, dari kalangan sahabat, tabi’in, dan para imam (ulama) rabbani yang jauh dari hizbiyah- hizbiyah (fanatik terhadap kelompok-kelompok) pemecah belah umat?
Guru kami, al-Albani telah berkata, membantah hizbiyah : “Kami terang-terangan memerangi hizbiyah- hizbiyah tersebut, karena hal tersebut sebagaimana firman Allah Ta’ala:
“Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada sisi mereka (masing-masing)”.
(al-Mu’minun: 53)
Padahal tidak ada hizbiyah sama sekali dalam Islam. Berdasarkan nash al-Qur’an, hizb hanya ada satu, (yakni hizbullah).
“Ketahuilah sesungguhnya hizb Allah-lah yang beruntung”.
(Mujadalah: 22)
Hizbullah adalah jamaah Rasulullâh Salallahu ‘Alaihi Wassalam. Hendaknya seseorang itu berada di atas manhaj para sahabat, hal ini membutuhkan ilmu terhadap Al-Kitab dan As-Sunnah.
Beliau (Al-Albani) pernah juga ditanya:
“Apakah Salafiyah itu dakwah hizbiyah, golongan, madzhab ataukah kelompok baru dalam Islam?”
Beliau menjawab: “Kalimat “Salaf” itu terkenal di dalam bahasa Arab dan syar’i. Telah shahih dari Nabi Salallahu ‘Alaihi Wassalam, ketika akan wafat beliau berkata kepada Fatimah, putrinya:
“Bertaqwalah kepada Allah dan bersabarlah. Aku adalah sebaik-baik salaf bagimu”.
Banyak sekali para ulama’ yang menggunakan istilah “Salaf”. Satu contoh, ketika mereka menggunakannya untuk menghancurkan bid’ah:
“Setiap kebaikan adalah di dalam mengikuti salaf, dan setiap kejelekan adalah di dalam bid’ahnya khalaf”.
Tetapi ada sebagian orang yang mengaku berilmu mengingkari penisbatan terhadap Salaf, dengan anggapan hal itu tidak ada sandarannya.
Dia mengatakan: “Seorang muslim tidak boleh mengatakan: “Saya Salafi”. Sepertinya dia mengatakan: “Seorang muslim tidak boleh mengatakan saya adalah pengikut manhaj Salaf as-Shalih dalam aqidah, ibadah, perilaku dan lainnya.”
Tidak diragukan lagi, pengingkaran ini membawa konsekwensi dia berlepas diri dari Islam yang shahih. Islamnya para Salaf as-Shalih, yang dipimpin oleh Rasulullâh Salallahu ‘Alaihi Wassalam , sebagaimana telah diisyaratkan oleh hadits mutawatir dalam “Shahihain” dan lainnya, Nabi Salallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda:
“Sebaik baik manusia adalah generasiku, kemudian generasi setelahnya, kemudian generasi setelahnya”.
Seorang muslim tidak boleh berlepas diri dari penisbatan kepada Salafush shalih. Orang yang mengingkari penisbatan yang mulia ini, bukankah dia juga menisbatkan diri kepada madzhab-madzhab yang ada, baik dalam aqidah, maupun fiqih? Bisa jadi dia seorang Asy’ariy atau Maturidy. Bisa jadi pula seorang Hanafi , Syafi’i, Maliki atau Hambali, yang tergolong Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Padahal orang yang menisbatkan kepada madzhab Asy’ariy atau salah satu dari 4 madzhab (fiqih) yang ada, dia telah menisbatkan diri kepada individu yang tidak ma’sum, walaupun ada juga para ulama yang benar. Tetapi apakah dia mengingkari penisbatan kepada individu-individu yang tidak ma’sum ini?
Dan inilah perkataan ahlul ilmi tentang bolehnya menisbatkan diri kepada Salafush as-Shalih:
Ibnu Manzhur berkata: “Termasuk arti Salaf adalah: pendahulumu, yaitu bapak-bapakmu dan kerabatmu yang punya umur dan keutamaan lebih di atasmu. Oleh karena itu generasi pertama dari kalangan tabi’in dinamakan “Salafush Shalih”.
Rasulullâh Salallahu ‘Alaihi Wassalam pernah berkata kepada putrinya, Zainab, ketika akan meninggal:
“Susullah Salaf kita yang shahih, yaitu Utsman bin Mazh’un.”
Al-Ghazali berkata: “Yang saya maksud dengan Salaf adalah madzhab sahabat dan tabi’in.”
Syaikhul Islam berkata: “Tiada aib bagi orang yang menampakkan madzhab salaf dan menisbatkan kepadanya, bahkan penisbatan tersebut wajib diterima menurut kesepakatan (ulama’), karena madzhab salaf adalah madzhab yang haq.”
Al-Baijuri berkata: “Yang dimaksud dengan istilah Salaf adalah orang yang terdahulu dari para nabi, tabi’in dan tabiut tabi’in.”
SYUBHAT KEDUA: Salafiyun Iebih Mementingkan Perkara-Perkara Furu’ (Cabang, Remeh) Ketimbang Perkara Ashl (pokok).
Jawaban Syaikh :
“Ini merupakan kedustaan serta bualan mereka. Sesungguhnya da’wah Salafiyah -alhamdulillah- mengimani Islam seluruhnya, tanpa pilih-pilih, berdasarkan firman Allah:
“Wahai orang-orang yang beriman masuklah kalian ke dalam Islam secara kaffah.” (Al- Baqoroh : 208)
Dan juga dengan firman Allah yang lain, yang mencela orang yang mengambil (mengamalkan) agama hanya menurut selera hawa nafsu.
“Apakah kalian mengimani sebagian dari kitab, dan mengkufuri sebagiannya?”
(Al-Baqarah 85)
Kewajiban terpenting dalam da’wah Salafiyah adalah tauhid, menghambakan makhluk kepada Rabbnya, mentarbiyah (membina) umat di atas manhaj Rasulullah Salallahu ‘Alaihi Wassalam, dan memberikan perhatian terhadap sunnah-sunnah yang sudah mulai ditinggalkan lalu menghidupkannya kembali.
Semua itu merupakan bagian dari program dan manhaj da’wah Salafiyah. Tetapi sebagian orang-orang yang menyelisihi da’wah Salafiyah ini ada yang menganggap sunnah-sunnah Rasulullah Salallahu ‘Alaihi Wassalam, seperti: siwak, memanjangkan jenggot, meninggikan kain di atas mata kaki, sutrah dan lainnya, sebagai perkara “qusyur” (remeh/kulit).

“Sangat buruk kalimat yang keluar dari mulut-mulut mereka, tidaklah yang mereka
ucapkan melainkan kedustaan.”
(al-Kahfi: 5)

Orang-orang yang bingung itu tidak tahu, bahwa Islam itu semuanya lubab (inti), sehingga persepsi dan pikiran mereka yang busuk menganggapnya sebagai “qusyur”.

Padahal semua yang dibawa oleh wahyu (Al-Kitab dan As-Sunnah) adalah haq dan lubab (inti), orang yang memperolok-olok sesuatu darinya maka dia kafir. Sedangkan orang yang menyebut sesuatu yang dibawa oleh Rasulullah dengan “qusyur” (kulit, hal remeh) yang dapat dibuang, maka dia berada di pinggir jurang yang dalam.


SYUBHAT KETIGA: Dakwah Salafiyah Tidak Memberikan Perhatian Terhadap Masalah-Masalah Politik, Bahkan Meninggalkannya Sama Sekali.


Syaikh menjawab:

Ini juga merupakan kedustaan yang nyata. Karena menurut Salafiyin, perkara politik termasuk dalam urusan dien. Tetapi politik yang mana?

Apakah politik koran-koran, majalah-majalah, dan kantor-kantor berita milik Yahudi dan Nashari? Ataukah politik Rasulullâh Salallahu ‘Alaihi Wassalam dan para sahabatnya?

Apakah politik demokrasi, yang mereka dengungkan dengan semboyan orang-orang kafir: “Dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat?”

Ataukah politik pemeluk Islam yang berprinsip: “Hukum Allah, untuk Allah, berpijak pada Kitabullah dan Sunnah Rasulnya, melalui musyawarah yang dibenarkan oleh Islam?”

Dan apakah politik yang kebenaran diukur dengan banyaknya jari yang terangkat (voting) di Majelis Perwakilan Rakyat, meskipun terkadang voting tersebut menambah kuatnya kemungkaran atau kesyirikan? Ataukah politik sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah Ta’ala.


Allah Ta’ala berfirman:

“Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia”. (Yusuf: 40)

Salafiyin tidak ingin meraih al-haq dengan cara yang batil. Karena menurut mereka, sebuah tujuan tidaklah menghalalkan segala cara. Mereka tidak akan berjuang di atas “punggung-punggung babi”, tidak akan minta pertolongan kepada kaum musyrikin, dan selamanya tidak akan berkumpul dengan orang-orang munafiq. Mereka menolak jumlah banyak yang bersifat seperti buih, yang tidak menyandang sifat syar’i sedikitpun.


SYUBHAT KEEMPAT: Salafiyun Bersikap Mudahanah Terhadap Penguasa, Tidak Bicara Al-Haq Secara Terang-Terangan Di Hadapan Mereka.

Jawaban Syaikh:

Di mana Salafiyun yang menempati jabatan-jabatan tinggi, berupa jabatan Menteri, Hakim atau Mufti di negara-negara Islam?

Mencari jabatan seperti itu adalah monopoli ahli bid’ah selama puluhan tahun. Andaikata Salafiyun mau cari muka dan menjual ilmu, niscaya mereka akan meraih apa yang telah diraih selain mereka. Tetapi Salafiyun memandang itu semua sebagai kemunafikan. Bahkan mereka memandang tidak boleh memasuki Majlis Perwakilan Rakyat, agar tidak menjadi jembatan untuk Undang-Undang buatan manusia dan hukum-hukum Thaghut, dan bergelimang dalam kebatilan.

Kalau ada oknum yang menasabkan diri kepada Salafiyah, lalu dia memuji-muji penguasa dengan dusta, mencari muka dengan cara berbasa-basi dan bersikap nifaq, maka hanyalah mewakili dirinya sendiri. Dakwah Salaf serta Salafiyun berlepas diri dari apa yang dia lakukan. Kewajiban Salafiyun terhadap orang seperti itu adalah memberikan nasehat dan mengingatkan, kemudian memboikot dan memberikan peringatan (jika dia enggan, pen).

Salafiyun adalah orang-orang yang membicarakan al-haq secara terang-terangan, penuh dengan hikmah dan nasehat yang baik. Tanpa mengobarkan pengkafiran, menyatakan orang lain durhaka, dan pemberontakan terhadap penguasa.

Dakwah Salaf mengajak untuk memberikan nasehat terhadap penguasa, serta zuhud terhadap apa-apa yang ada pada mereka, yang berupa harta, jabatan, dan kehormatan. Juga mengajak untuk tidak mengobarkan (emosi) terhadap mereka, tidak rakus terhadap singgasana mereka, tidak memberontak melawan mereka. Kecuali jika nampak kekufuran yang nyata pada mereka, dengan terpenuhinya syarat-syarat serta tidak adanya penghalang-penghalang kekafiran. Tetapi hal itu ditetapkan oleh ulama, bukan oleh orang-orang hina yang mengikuti setiap orang yang memanggil.

SYUBHAT KELIMA: Salafiyin suka berlebih-lebihan….!

Jawaban Syaikh:

Adapun kalau yang dimaksud berlebih-lebihan adalah bersungguh-sungguh di dalam alhaq, melaksanakan kawajiban-kewajiban, dan menghidupkan sunnah-sunnah yang sudah mulai ditinggalkan, maka ini adalah haq, bukan aib bagi seorang muslim. Sedangkan yang merupakan aib adalah kalau seseorang meremehkan perkara-perkara agama, membolehkan hal-hal yang diharamkan, serta mengerjakan hal-hal yang melanggar syari’at.

Maka apakah memelihara jenggot yang merupakan Sunnah merupakan sikap berlebihan? Apakah memendekkan kain di atas mata kaki sampai pertengahan betis yang merupakan Sunnah merupakan sikap berlebihan? Apakah mengharamkan jabat-tangan dengan wanita bukan mahram, mengharamkan lagu-lagu dan musik, termasuk berlebih-lebihan? Padahal ulama’ dahulu dan sekarang telah berfatwa dengan hal-hal di atas!

Itu semua hanyalah tuduhan yang dibuatbuat agar manusia menjauhi para da’i Al-Kitab dan As-Sunnah pengikut Salaful Ummah.

Salafiyah tidaklah menyia-nyiakan syari’at ini sedikitpun, tidak meremehkan Sunnah, apapun bentuknya. Sebagaimana hal itu dilakukan oleh harikiyin dan hizbiyin yang menuduh Salafiyin suka mencari-cari masalah ganjil yang mereka namai dengan “qusyur” (perkara kulit) untuk meremehkannya. Keberuntunganlah bagi orang-orang yang asing, yang telah diberitakan oleh Nabi Salallahu ‘Alaihi Wassalam, dengan sabdanya:

“Mereka adalah orang-orang yang memperbaiki sunnah-sunnah Rasulullâh Salallahu ‘Alaihi Wassalam yang telah dirusak oleh manusia”.

SYUBHAT KEENAM: Salafiyin Tidak Menaruh Perhatian Terhadap Masalah Jihad.


Syaikh menjawab:

Jihad merupakan puncak syari’at. Ayat-ayat dan hadits-hadits yang menganjurkannya banyak sekali dan sudah terkenal. Tetapi jihad mempunyai kaedah-kaedah, syarat-syarat, dan adab-adab. Salafiyun tidak akan berangkat jihad di bawah bendera jahiliyah, karena jihad tidaklah disyari’atkan kecuali untuk menegakkan syari’at Allah.


Allah Ta’ala berfirman:

“Sehingga tidak terjadi fitnah, dan agama seluruhnya untuk Allah”.
(al-Anfaal: 39)

Untuk berjihad harus ada imam, harus ada bendera Islam. Dan harus ada pembinaan rabbaniyah seputar jihad. Harus ada bekal dan kesiapan. Menurut Salafiyin, jihad haruslah berdasarkan ilmu, keyakinan dan sasaran yang jelas. Jika bendera telah tegak dan tujuan (sasaran) juga jelas, maka Salafiyin tidak akan ketinggalan.

Bumi Palestina, Chehcnya, Afghon, Balkan, Kasmir menjadi saksi bagi mereka di sisi Allah Ta’ala. Mereka mendorong peperangan (jihad) dengan pemahaman seperti ini.

SYUBHAT KETUJUH: Dakwah Salafiyah Memecah Belah Umat Dan Membikin Fitnah.

Jawab Syaikh:

Kenapa dakwah Salaf dituduh demikian?

Karena dakwah ini memisahkan keburukan dari kebajikan, dan itu merupakan tujuan Allah dan Rasul-Nya.

“Agar Allah memisahkan antara kejelekan dengan kebaikan.”
(al-Anfaal: 37)

Allah Ta’ala juga berfirman:

“Katakanlah: “Kebenaran itu dari Rabb kalian, barangsiapa yang ingin, berimanlah dan siapa yang ingin , kufurlah.”” (al-Kahfi: 29)


Ketika seorang da’i Salafi memerangi bid’ah dan ahli bid’ah, langsung dituduh dengan tuduhan-tuduhan yang keji tersebut. Karena memang di antara prinsip Ahlul Bid’ah adalah mengumpulkan orang dengan membabi buta dengan dalih menjaga persatuan kaum muslimin. Mereka tidak peduli bentuk dan jenisnya, tetapi yang penting kwantitas, bagaimana itu bisa terwujud. Karena itu kamu lihat mereka berbasa-basi di hadapan ahlul bid’ah dan ahli kesesatan. Tetapi mereka tidak mau berdamai dengan Salafiyin. Bahkan mereka memusuhi, mencela, membenci, dan membesar-besarkan kesalahan Salafiyin.


Kami akan senantiasa ingat ucapan salah satu pembesar Ikhwanul Musimin di kota Zarqo’ yang membela Khumaini dan revolusinya serta membantah Salafiyin yang memperingatkan dari firqah Syiah, condong kepadanya. Dia berkata:

“Muslim Syiah yang menegakkan syari’at Allah, lebih utama daripada Sunni Salafi yang tidak menegakkan syari’at, mereka itu perusak.”

Lalu dia memberikan tuduhan-tuduhan bahwa Salafi membuat fitnah dan memecah belah umat.

Maka saya katakan: “Perhatikanlah mereka telah terjatuh ke dalam fitnah, tidaklah mereka mengetahui bahwa Syiah adalah Yahudinya umat ini. Syi’ah adalah firqah yang paling buruk. Karena berbagai perkara yang ada pada mereka, seperti: bid’ah, kesesatan, merubah kitab Allah, mencela sahabat Rasulullâh Salallahu ‘Alaihi Wassalam , dan menuduh Aisyah ummul mukminin berzina, padahal Allah telah mensucikannya dari atas langit ke tujuh, Maha Tinggi Allah dengan ketinggiannya yang Agung dari apa yang diucapkan orang-orang dhalim.


Demikian beberapa syubhat diantara banyak syubhat yang dilontarkan oleh sebagian orang kepada dakwah salafiyah dan bantahannya. Mudahan-mudahan Allah memudahkan bagi kita untuk mengenal yang hak sebagai sebuah kebenaran dan semoga Allah memberikan kekuatan kepada kita untuk melaksanakannya.


(Majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun VI/1423H/2002M)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Al-Qur'an Wal Hadits Ala Fahmi Salaf

Manhaj salaf adalah satu-satunya manhaj yang diakui kebenarannya oleh Allah ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena manhaj ini mengajarkan pemahaman dan pengamalan islam secara lengkap dan menyeluruh, dengan tetap menitikberatkan kepada masalah tauhid dan pokok-pokok keimanan sesuai dengan perintah Allah ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, Allah berfirman:(lihat QS.At Taubah: 100)/(Qs. Al Baqarah: 137)Dalam hadits yang shahih tentang perpecahan umat ini menjadi 73 golongan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Semua golongan tersebut akan masuk neraka, kecuali satu golongan, yaitu Al Jama’ah“. Dalam riwayat lain: “Mereka (yang selamat) adalah orang-orang yang mengikuti petunjukku dan petunjuk para sahabatku.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Ad Darimy dan imam-imam lainnya, dishahihkan oleh Ibnu Taimiyyah, Asy Syathiby dan Syaikh Al Albany. Lihat “Silsilatul Ahaaditsish Shahihah” no. 204) Maka mengikuti manhaj salaf adalah satu-satunya cara untuk bisa meraih keselamatan di dunia dan akhirat, sebagaimana hanya dengan mengikuti manhaj inilah kita akan bisa meraih semua keutamaan dan kebaikan yang Allah ta’ala janjikan dalam agama-Nya, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Sebaik-baik umatku adalah generasi yang aku diutus di masa mereka (para sahabat radhiyallahu ‘anhum), kemudian generasi yang datang setelah mereka, kemudian generasi yang datang setelah mereka.” (HR. Al Bukhari dan Muslim)