Powered By google

Sabtu, 04 Desember 2010

Penjelasan Singkat Tentang 99 Nama Allah

Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqolani Asy Syafi’i rahimahullah mencantumkan dalam kitabnya yang mashur di kalangan masyarakat muslimin di Negara kita, Bulughul Marom sebuah hadits yang statusnya Muttafaqqun ‘Alaih yang sangat sarat makna dan Faidah di dalamnya. Hadits tersebut diriwayatkan dari sahabat Abu Huroiroh radhiyallahu anhu, Beliau Shollallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata :
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ « إِنَّ لِلَّهِ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ اسْمَا مِائَةً إِلاَّ وَاحِدًا مَنْ أَحْصَاهَا دَخَلَ الْجَنَّةَ »
Bahwasanya Rasulullah  ` berkata : “Sesungguhnya milik Allah 99 nama, barang siapa yang mengahsho[i] nya maka pasti masuk surga”.[ HR. Bukhory no. 2736, 7392, Muslim no. 6989.]

Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqolani Asy Syafi’i rahimahullah setelah menyampaikan hadits ini dalam Bulughul Marom Beliau mengatakan bahwa At Tirmidzi, Ibnu Hibban telah membawakan riwayat tentang nama-nama tersebut namun sebenarnya nama-nama tersebut statusnya adalah mudrodz/sisipan[ii] dari perowi dan bukan Sabda Nabi Shollallahu ‘Alaihi wa Sallam. Hal ini juga disetujui oleh Ibnu Hazm, Abu Bakar bin Al’Arobi[iii] , Ibnu Athiyah, Ibnu Taimiyah, Ibnul Qoyyim, Ibnu Hajar dan para ulama lainnya bahkan hal ini dinilai sebagai ijma’ ulama hadits oleh Ash Shon’ani di Subulus Salam[iv]. Tambahan matan yang berstatus sebagai mudrodz dalam riwayat Tirmidzi adalah :
« إِنَّ لِلَّهِ تَعَالَى تِسْعَةً وَتِسْعِينَ اسْمًا مِائَةً غَيْرَ وَاحِدَةٍ مَنْ أَحْصَاهَا دَخَلَ الْجَنَّةَ هُوَ اللَّهُ الَّذِى لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الرَّحْمَنُ الرَّحِيمُ الْمَلِكُ الْقُدُّوسُ السَّلاَمُ الْمُؤْمِنُ الْمُهَيْمِنُ الْعَزِيزُ الْجَبَّارُ الْمُتَكَبِّرُ الْخَالِقُ الْبَارِئُ الْمُصَوِّرُ الْغَفَّارُ الْقَهَّارُ الْوَهَّابُ الرَّزَّاقُ الْفَتَّاحُ الْعَلِيمُ الْقَابِضُ الْبَاسِطُ الْخَافِضُ الرَّافِعُ الْمُعِزُّ الْمُذِلُّ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ الْحَكَمُ الْعَدْلُ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ الْحَلِيمُ الْعَظِيمُ الْغَفُورُ الشَّكُورُ الْعَلِىُّ الْكَبِيرُ الْحَفِيظُ الْمُقِيتُ الْحَسِيبُ الْجَلِيلُ الْكَرِيمُ الرَّقِيبُ الْمُجِيبُ الْوَاسِعُ الْحَكِيمُ الْوَدُودُ الْمَجِيدُ الْبَاعِثُ الشَّهِيدُ الْحَقُّ الْوَكِيلُ الْقَوِىُّ الْمَتِينُ الْوَلِىُّ الْحَمِيدُ الْمُحْصِى الْمُبْدِئُ الْمُعِيدُ الْمُحْيِى الْمُمِيتُ الْحَىُّ الْقَيُّومُ الْوَاجِدُ الْمَاجِدُ الْوَاحِدُ الصَّمَدُ الْقَادِرُ الْمُقْتَدِرُ الْمُقَدِّمُ الْمُؤَخِّرُ الأَوَّلُ الآخِرُ الظَّاهِرُ الْبَاطِنُ الْوَالِى الْمُتَعَالِى الْبَرُّ التَّوَّابُ الْمُنْتَقِمُ الْعَفُوُّ الرَّءُوفُ مَالِكُ الْمُلْكِ ذُو الْجَلاَلِ وَالإِكْرَامِ الْمُقْسِطُ الْجَامِعُ الْغَنِىُّ الْمُغْنِى الْمَانِعُ الضَّارُّ النَّافِعُ النُّورُ الْهَادِى الْبَدِيعُ الْبَاقِى الْوَارِثُ الرَّشِيدُ الصَّبُورُ »
“Sesungguhnya hanya milik Allah 99 nama (yang husna, pent.). Barangsiapa yang ihsho terhadap nama tersebut maka pasti akan masuk surga. Nama-nama Allah U tersebut adalah : Allah yang tiada ilah yang benar disembah kecuali Dia. Al Malik, Al Quddus, As Salam, Al Mu’min, Al Muhaimin, Al Aziz, Al Jabbar, Al Mutakabbir, Al Kholiq, Al Baari’, Al Mushowwiru, Al Ghoffar, Al Qohhaar, Al Wahaab, Ar Rozzaaq, Al Fattaah, Al ‘Alim, Al Qoobidh, Al Baasith, Al Khoofidh, Ar Roofi’, Al Mu’izzu, Al Mudzillu, As Samii’, Al Bashiir, Al Hakam, Al ‘Adlu, Al Lathiif, Al Khobiir, Al Haliim, Al ‘Adzim, Al Ghofuur, Asy Syakuur, Al ‘Aliyu, Al Kabiir, Al Hafidz, Al Muqiit, Al Hasiib, Al Jaliil, Al Kariim, Ar Roqiib, Al Mujiib, Al Wasi’, Al Hakiim, Al Waduud, Al Majiid, Al Baa’its, Asy Syahiid, Al Haqq, Al Wakiil, Al Qowiyy, Al Matiin, Al Waliy, Al Hamiid, Al Muhshi, Al Mubdi’u, Al Mu’iid, Al Muhyi, Al Mumiit, Al Hayyu, Al Qoyyum, Al Waajid, Al Maajid, Al Waahid, Ash Shomad, Al Qoodir, Al Muqtadir, Al Muqoddim, Al Muakhir, Al Awwal, Al Akhir, Adh Dhoohir, Al Baathin, Al Waaliy, Al Muta’aliy, Al Birr, At Tawwaab, Al Muntaqimu, Al Afuwwu, Ar Ro’uuf, Maalik, Al Mulk, Dzul Dzalali wal Ikrom, Al Muqsith, Al Jaami’, Al Ghoniy, Al Maani’u, Adh Dhorru, An Naafi’, An Nuur, Al Haadi, Al Badii’u, Al Baqii, Al Warits, Ar Rosyiid, Ash Shobru”. [HR. Tirmidzi no. 3849, Abu ‘Isa At Tirmidzi t mengatakan bahwa hadits ini Ghorib, berkata Syaikh Al Albani t dalam Shohih wa Dhoif Sunan At Tirmidzi : “Dhoif jika dengan menceritakan asma’ Allah”].[v]


Beberapa pelajaran yang bisa diambil dari hadits ini :
!     Bolehnya bersumpah dengan nama yang manapun dari nama-nama Allah yang husna/asma’ul husna. Pendapat inilah dhohir pendapat Al Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah sebagaimana Beliau isyaratkan dengan meletakkan hadits ini sebagai hadits terakhir dalam kitabul aiman/sumpah. Berkata para ahli fikih : “Sumpah yang ada kafarotnya adalah sumpah dengan nama Allah Subhanahu wa Ta’ala, Ar Rohman, Ar Rohim, ataupun dengan shifat dari shifat-shifat yang Allah Subhanahu wa Ta’ala miliki. Seperti sumpah dengan Demi Wajah[vi] Allah, Demi KeagunganNya”[vii]. Sehingga bersumpah dengan selain nama Allah ataupun shifat-shifatNya tidak ada kafarohnya melainkan termasuk dalam syirik yang pelakunya harus bertaubat sebelum meninggal dunia dan bukanlah hal ini menunjukkan bahwa hal ini adalah hal yang boleh ataupun hal yang sepele. Berdasarkan sabda Rasulullah  Shollallahu ‘Alaihi wa Sallam :
« مَنْ كَانَ حَالِفًا فَلْيَحْلِفْ بِاللَّهِ أَوْ لِيَصْمُتْ »
“Barangsiapa yang hendak bersumpah maka hendaklah dia bersumpah dengan nama Allah jika tidak maka diam”.[ HR. Bukhory no. 6108, HR. Muslim no. 1646.]

Demikian juga sabda Nabi Shollallahu ‘Alaihi wa Sallam :
« مَنْ حَلَفَ بِغَيْرِ اللَّهِ فَقَدْ كَفَرَ أَوْ أَشْرَكَ »
“Barangsiapa yang bersumpah dengan selain Allah maka ia telah berbuat kekufuran atau kesyirikan”.[ HR. Tirmidzi no. 1535, HR. Abu Dawud no. 3251, HR. Al Hakim no. 7923. Hadist ini dishohihkan Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dhoif Sunan Abu Dawud.]
Hal ini termasuk syirik sebagaimana yang dijelaskan oleh Syaikh Sholeh Al Fauzan Hafidzahulloh karena bersumpah dengan selain nama-nama Allah merupakan bentuk penyetaraan antara Allah dan mahluk disampinh hal itu tidaklah dilakukan kecuali dengan nama yang padanya ada pengagungan yang pada hakikatnya adalah milik Allah Azza wa Jalla semata.[viii]
Berkata Ibnu Mas’ud rodhiyallahu ‘anhu :
“Bersumpah dengan nama Allah dan aku berdusta atas sumpahku lebih aku cintai daripada bersumpah dengan nama selain Allah padahal aku jujur dengan sumpahku itu”.[ix]
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan perktaan Sahabat Ibnu Mas’ud rodhiyallahu ‘anhu tersebut :
“Karena hasanah/kebaikan yang ada pada tauhid itu lebih agung daripada hasanah/kebaikan yang ada kejujuran, dan kejelekan yang ada pada dusta lebih ringan daripada kejelekan yang ada pada kesyirikan”.[x]
!     Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah Berkata : “Para ulama ahli hadits sepakat bahwasanya ta’yin/penentuan satu persatu nama-nama Allah Azza wa Jalla bukanlah hadits dari Nabi Shollallahu ‘Alaihi wa Sallam”.
!     Abul Wafa’ Muhammad Darwis rahimahullah : “Nama-nama Allah Shollallahu ‘Alaihi wa Sallam jumlah banyak, diantaranya ada yang Allah turunkan dalam kitabNya, ada yang Allah ajarkan kepada NabiNya Shollallahu ‘Alaihi wa Sallam , ada yang Allah simpan dalam ilmuNya saja karena akal manusia tidaklah mampu mengetahui maknanya, kemuliannya[xi]. Dalil yang menunjukkan hal ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad rahimahullah melalui jalan dari sahabat Ibnu Mas’ud rodhiyallahu ‘anhu , Nabi Shollallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda :
« أَسْأَلُكَ بِكُلِّ اسْمٍ هُوَ لَكَ سَمَّيْتَ بِهِ نَفْسَكَ أَوْ عَلَّمْتَهُ أَحَداً مِنْ خَلْقِكَ أَوْ أَنْزَلْتَهُ فِى كِتَابِكَ أَوِ اسْتَأْثَرْتَ بِهِ فِى عِلْمِ الْغَيْبِ عِنْدَكَ »
“Aku meminta dengan seluruh nama yang Engkau miliki yang Engkau sebut Dirimu dengannya, yang Engkau ajarkan kepada salah satu mahlukmu, yang engkau turunkan dalam kitabMu, yang Engkau simpan dalam ilmu sebagai hal yang ghoib di sisi”.[ HR. Ahmad no. 3784, hadits ini dishohihkan oleh Al Albani dalam Shohihut Targhib wat Tarhib no. 1822, Maktabah Syamilah.]
!     An Nawawi Asy Syafi’I rahimahullah berkata: “Para ‘ulama sepakat bahwa hadits ini bukanlah pembatasan terhadap nama Allah Subhanahu wa Ta’ala dan bukanlah pembatasan bahwasanya tidak ada nama Allah Azza wa Jalla selain yang 99 nama tersebut. Sesungguhnya maksud hadits ini hanyalah nama Allah I itu ada 99 yang barang siapa mengahshonya[xii] maka pasti masuk surga”.[xiii]
!     An Nawawi Asy Syafi’i t berkata: “Yang dimaksud dengan « مَنْ أَحْصَاهَا » adalah menghafalnya, beriman terhadapnya dan konsekwensi dari nama tersebut serta beramal dengan isi kandungan dari nama tersebut”[xiv].
!     Amirul Mu’minin fil Hadits Abu Abdillah Muhammad ‘Isma’il Al Bukhori t berkata shohihnya : “Yang dimaksud dengan « مَنْ أَحْصَاهَا » adalah menghafalnya”[xv]. Dan hal ini dikomentari oleh An Nawawi tsebagai makna dhohir dari sabda Nabi ` « مَنْ أَحْصَاهَا ».[xvi]
!     Ibnu Baththol rahimahullah berkata : “Cara beramal dengan kandungan asma’ul husna adalah dengan meneladani kandungan nama-nama Allah U yang boleh/bisa untuk diteladani semisal Ar Rohiim [Yang Maha Penyayang], Al Kariim [Yang Maha Dermawan]. Maka hendaklah seorang hamba melatih dirinya untuk memiliki kandungan dari shifat-shifat Allah Jalla wa ‘Ala yang semacam itu akan tetapi tentu dengan kandungan yang layak bagi hamba[xvii]. Adapun shifat Allah Azza wa Jalla yang khusus bagiNya semisal Al Jabbar [Yang KehendakNya pasti menang], Al Adziim [Yang Maha Agung] maka kewajiban seorang hamba adalah menetapkan adanya shifat tersebut bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala, tunduk terhadapnya, dan tidak menghiasi dirinya dengan shifat tersebut. Sedangkan nama-nama Allah yang padanya ada makna janji maka kewajiban seorang hamba adalah menambatkan pada hatinya rasa harap terhadapnya, adapun apabila nama-nama tersebut padanya terkandung makna ancaman maka kewajiban seorang hamba adalah menjauhinya, menjaga diri darinya, menambatkan dalam hatinya rasa cemas dan takut yang disertai dengan ilmu”[xviii].
!     Tidak ada satu riwayat yang shahih dari Nabi Shollahu ‘Alaihi wa Sallam yang menyebutkan secara rinci nama-nama tersebut  demikian juga tentang berapa jumlah dari nama-nama tersebut, bahkan terjadi perselisihan yang besar diantara para ulama’ dalam masalah ini. Dinatara para ‘ulama yang melakukan penelitian secara khusus dalam masalah ini adalah Abul Wafa’ Muhammad Darwis rahimahullah dalam kitabnya yang berjudul Al Asma’ul Husna, demikaian juga Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin rahimahullah dalam kitab Beliau Al Qowa’idul Mustla.
!     Syaikh Abdurrahman As Sa’di rahimahullah dalm kitab Beliau yang berjudul Tauhidul Anbiya’ wal Mursalin : “Pengikut para Nabi dan Rasul mereka itu mengikuti seluruh shifat bagi Ar Rohman yang termaktub dalam kitab Kitabul Ilahiyah (Allahu A’lam mungkin yang dimaksud dengan Kitabul Ilahiyah yaitu Al Qur’an.), yang telah sahih dari hadits-hadits Nabi Shollahu ‘Alaihi wa Sallam. Mereka adalah orang-orang yang mengenal nama-nama tersebut, mereka adalah orang-orang yang akal dan hati mereka paham terhadap maknanya, serta mereka beribadah kepada Allah dengan nama-nama tersebut disertai dengan ilmu dan menyakini hal tersebut sebagai akidah. Mereka juga adalah orang-orang yang mengerti dan paham terhadap konsekwensi dari nama-nama tersebut. Hal-hal ini merupakan keadaan hati mereka dan pengetahuan kerububiyahan yang berasal dari Allah Azza wa Jalla.
Maka mereka ketika menyadari bahwa Allah mempunyai shifat yang Maha Agung, Yang Maha Sombong, Yang Maha Mulia maka penuhlah hati mereka dengan rasa takut dan mengagungkan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Demikian juga ketika mereka menyadari bahwa Allah Azza wa Jalla memiliki Shifat Al ‘Izza[xix], Al Qudroh (Maha Kuasa) maka hati mereka akan merasa tunduk terhadapnya, dan merendahkan dirinya kepada Allah Azza wa Jalla.
Demikian juga jika dengan shifat Allah Ar Rohmah, Al Birr, Al Wujud, Al Karim maka akan hati mereka akan dipenuhi dengan perasaan penuh harapan dan tamak terhadap apa yang terkandung dalam shifat Allah tersebut, keutamaan-keutamaan dari Allah.
Hal yang hampir sama juga dengan shifat ilmu, pengetahuan yang meliputi segala sesuatu yang Allah Subhanahu wa Ta’ala miliki maka mereka akan merasa selalu diawasi oleh Allah dalam setiap gerak gerik mereka ataupun diamnya mereka.
Dengan mengetahui makna-makna shifat-shifat Allah yang agung ini disertai dengan merealisasikannya maka diharapkan seorang hamba termasuk dalam hadits Nabi Shollallahu ‘alahi wa Sallam yang mulia :
« إِنَّ لِلَّهِ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ اسْمَا مِائَةً إِلاَّ وَاحِدًا مَنْ أَحْصَاهَا دَخَلَ الْجَنَّةَ »
“Sesungguhnya milik Allah 99 nama, barang siapa yang mengahshonya maka pasti masuk surga”.[xx]
Maka Beliau Syaikh As Sa’di rahimahullah berkata : “Maka yang dimaksud dengan ihsho’ adalah dengan memahami asma’ Allah, memikirkannya, mengenalnya dan beribadah kapada Allah Ta’ala dengannya”.
Maka secara ringkas yang dimaksud dengan ahso’ adalah sebagaimana yang disampaikan di atas oleh para ulama, diantaranya adalah :
!                 Amirul Mu’minin fil Hadits Abu Abdillah Muhammad bin ‘Isma’il Al Bukhori rahimahullah berkata shohihnya[xxi] : “Yang dimaksud dengan « مَنْ أَحْصَاهَا » adalah menghafalnya”. Dan hal ini dikomentari oleh An Nawawi rahimahullah sebagai makna dhohir dari sabda Nabi Shollallahu ‘alahi wa Sallam « مَنْ أَحْصَاهَا ».[xxii]
!                 An Nawawi Asy Syafi’I rahimahullah berkata: “Yang dimaksud dengan « مَنْ أَحْصَاهَا » adalah menghafalnya, beriman terhadapnya dan konsekwensi dari nama tersebut serta beramal dengan isi kandungan dari nama tersebut”[xxiii].
!                 Ibnu Baththol rahimahullah berkata : “Cara beramal dengan kandungan asma’ul husna adalah dengan meneladani kandungan nama-nama Allah U yang boleh/bisa untuk diteladani semisal Ar Rohiim [Yang Maha Penyayang], Al Kariim [Yang Maha Dermawan]. Maka hendaklah seorang hamba melatih dirinya untuk memiliki kandungan dari shifat-shifat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang semacam itu akan tetapi tentu dengan kandungan yang layak bagi hamba. Adapun shifat Allah Azza wa Jalla yang khusus bagiNya semisal Al Jabbar [Yang KehendakNya pasti menang], Al Adziim [Yang Maha Agung] maka kewajiban seorang hamba adalah menetapkan adanya shifat tersebut bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala, tunduk terhadapnya, dan tidak menghiasi dirinya dengan shifat tersebut. Sedangkan nama-nama Allah Subhanahu wa Ta’ala yang padanya ada makna janji maka kewajiban seorang hamba adalah menambatkan pada hatinya rasa harap terhadapnya, adapun apabila nama-nama tersebut padanya terkandung makna ancaman maka kewajiban seorang hamba adalah menjauhinya, menjaga diri darinya, menambatkan dalam hatinya rasa cemas dan takut yang disertai dengan ilmu”[xxiv].
!                 Syaikh As Sa’di rahimahullah berkata : “Maka yang dimaksud dengan ihsho’ adalah dengan memahami asma’ Allah, memikirkannya, mengenalnya dan beribadah kapada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengannya”.

Maka Marilah kita bergiat dalam mempelajari asma’ dan shifat Allah Subhanahu wa Ta’ala sehingga kita dapat merealisasikan hadits Nabi Shollallahu ‘Alaihi wa Sallam yang mulia ini.
Allahu A’lam bish Showab…

اللهم انفعني بما علمتني وعلمني ما ينفعني وزدني علما

Wisma Al Hijroh, Sabtu 1 Rabu’ul Akhir 1428/28 Maret 2009.



Abu Halim Budi bin Usman As Sigambali
[Yang Selalu Fakir pada Robb dan Mengharap ampunanNya]
[i] Akan datang keterangan mengenai apa yang dimaksud dengan ahso, Insya Allah Ta’ala.
[ii] Syaikh Muhammmad Shubhi Hasan Halaq dalam tahqiq Beliau tentang Subulus Salam Berkata : mudrodz ada dua, itu bisa terjadi dalam dua hal, yaitu : Mudrodz pada matan dan pada sanad. [Lihat Subulus Salam Al Maushul ila Bulughil Marom hal. 24/VII cet. Kedua, Dar Ibnul Jauzy Riyadh, KSA.]
[iii] Beliau lebih dikenal dengan nama Ibnul Arobi –dengan huruf alif dan lam- bukan Ibnu Arobi yang merupakan salah seorang pemuka ajaran sufiyah yang dikafirkan oleh banyak ulama karena penyimpangan yang dia lakukan
[iv] Lihat Subulus Salam Al Maushul ila Bulughil Marom hal. 24/VII cet. Kedua, Dar Ibnul Jauzy Riyadh, KSA.
[v] [lihat Shohih wa Dhoif Sunan At Tirmidzi hal. 796, terbitan Maktabah Ma’arif Riyadh, KSA, cetakan pertama].
[vi] Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Makna wajah telah diketahui (sebagaimana makna wajah dalam bahasa Arab) akan tetapi kaifiyahnya (bagaimananya wajah Allah) adalah suatu hal yang majhul/tidak kita ketahui sebagaimana seluruh shifat Allah, akan tetapi kita mengimani bahwasanya Allah Azza wa Jalla memiliki shifat wajah yang Allah shifati diriNya dengan shifat tersebut sesuai dengan kemulian dan keagungannya”. [Lihat Syarh Al Aqidah Al Washitiyah, hal. 184 terbitan Dar Ibnul Jauzy, Riyadh], Allahu A’lam.
[vii] Lihat Taudhihul Ahkam min Bulughil Marom hal. 119/VII, cet. kelima. Terbitan Maktabah Sawady, Makkah Al Mukaromah.
[viii] Lihat Mulakhos Fi Syarhi Kitabit Tauhid hal. 326 cet. pertama, terbitan Dar Ashimah, Riyadh, KSA.
[ix] Lihat Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah hal. 551/V dalam Kitabul Iman, Maktabah Syamilah.
[x] Lihat Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah hal. 551/V dalam Kitabul Iman, Maktabah Syamilah.
[xi] Pernyataan Beliau ini dhohirnya mengisyaratkan bahwa Beliau berpendapat seluruh asma’ dan shifat Allah I yang ada dalam Al Qur’an pasti bisa diketahui oleh hamba maknanya dan bisa memaknai kemuliannya, Allahu A’lam, pent.
[xii] Akan datang keterangan mengenai apa yang dimaksud dengan ahso, Insya Allah Ta’ala.
[xiii] Lihat Syarh An Nawawi ‘Ala Muslim hal. 39/IX, Maktabah Syamilah.
[xiv] Lihat Syarh An Nawawi ‘Ala Muslim hal. 39/IX, Maktabah Syamilah.
[xv] Lihat Shohih Al Bukhori no. 7392.
[xvi] Lihat Syarh An Nawawi ‘Ala Muslim hal. 39/IX, Maktabah Syamilah.
[xvii] Sehingga tidaklah sama antara shifat yang ada pada Allah I dan mahlukNya. Allahu A’lam,pent.
[xviii] Lihat Taudhihul Ahkam min Bulughil Marom hal. 121/VII, cet. kelima. Terbitan Maktabah Sawady, Makkah Al Mukaromah.
[xix] Shifat izzahnya Allah itu tercakup dalam tiga jenis yaitu :
  • Izzatul Quwah/ Maha Perkasa.
  • Izzatul Imtina’/ Maha Kaya dan tidak membutuhkan mahlukNya.
  • Izzatul Qohri wal Gholabah/ kekuatan untuk menang dan mengalahkan, dalam artian jika Allah menghendaki sesuatu maka sekalipun seluruh hamba tidak menghendakinya namun jika Allah menghendakinya maka kehendak Allah lah yang menang.
[Silahkan merujuk pada Kitab Al Qowa’idul Hissan Al Muta’allaqotul fi Tafsiril Qur’an oleh Syaikh Abudurrahman As Sa’di rahimahullah hal. 21 terbitan Dar Ibnul Jauzy, Riyadh, KSA atau bisa merujuk kepada terjemahan kitab tersebut yang saya terjemahkan sendiri, mudah-mudahan Allah mudahkan untuk menyelesaikannya.
[xx] Telah lewat takhrij hadits ini.
[xxi] Lihat Shohih Al Bukhori no. 7392.
[xxii] Lihat Syarh An Nawawi ‘Ala Muslim hal. 39/IX, Maktabah Syamilah.
[xxiii] Lihat Syarh An Nawawi ‘Ala Muslim hal. 39/IX, Maktabah Syamilah.
[xxiv] Lihat Taudhihul Ahkam min Bulughil Marom hal. 121/VII, cet. kelima. Terbitan Maktabah Sawady, Makkah Al Mukaromah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Al-Qur'an Wal Hadits Ala Fahmi Salaf

Manhaj salaf adalah satu-satunya manhaj yang diakui kebenarannya oleh Allah ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena manhaj ini mengajarkan pemahaman dan pengamalan islam secara lengkap dan menyeluruh, dengan tetap menitikberatkan kepada masalah tauhid dan pokok-pokok keimanan sesuai dengan perintah Allah ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, Allah berfirman:(lihat QS.At Taubah: 100)/(Qs. Al Baqarah: 137)Dalam hadits yang shahih tentang perpecahan umat ini menjadi 73 golongan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Semua golongan tersebut akan masuk neraka, kecuali satu golongan, yaitu Al Jama’ah“. Dalam riwayat lain: “Mereka (yang selamat) adalah orang-orang yang mengikuti petunjukku dan petunjuk para sahabatku.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Ad Darimy dan imam-imam lainnya, dishahihkan oleh Ibnu Taimiyyah, Asy Syathiby dan Syaikh Al Albany. Lihat “Silsilatul Ahaaditsish Shahihah” no. 204) Maka mengikuti manhaj salaf adalah satu-satunya cara untuk bisa meraih keselamatan di dunia dan akhirat, sebagaimana hanya dengan mengikuti manhaj inilah kita akan bisa meraih semua keutamaan dan kebaikan yang Allah ta’ala janjikan dalam agama-Nya, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Sebaik-baik umatku adalah generasi yang aku diutus di masa mereka (para sahabat radhiyallahu ‘anhum), kemudian generasi yang datang setelah mereka, kemudian generasi yang datang setelah mereka.” (HR. Al Bukhari dan Muslim)